Berita-rakyat, Jakarta — Presiden Prabowo Subianto melontarkan gagasan kontroversial: Pilkada tak lagi dipilih langsung rakyat, melainkan oleh DPRD. Usulan ini langsung memicu gelombang reaksi, terutama dari kalangan akademisi.
Baca Juga
Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, mengungkapkan kekhawatirannya. Menurutnya, sistem Pilkada melalui DPRD mengingatkan pada era Orde Baru, masa pemerintahan Soeharto, mertua Prabowo sendiri. Meskipun demikian, Satria menekankan perlunya evaluasi menyeluruh sebelum melakukan perubahan sistem sebesar ini.
Biaya Pilkada serentak yang besar dan efektivitasnya yang dipertanyakan menjadi sorotan utama. Satria bahkan menyiratkan adanya motif politik di balik usulan tersebut. "Ada kekhawatiran ide ini muncul bukan semata dari perspektif kepresidenan, melainkan dari posisi beliau sebagai ketua partai yang mungkin merasa dirugikan akibat kekalahan di beberapa daerah strategis," tegasnya.
Perbandingan yang dibuat Prabowo dengan sistem negara-negara parlementer seperti Malaysia, India, dan Singapura dinilai Satria sebagai analogi yang keliru. Indonesia, dengan sistem demokrasi langsungnya, berbeda fundamental dengan negara-negara tersebut.
"Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan buah reformasi, memperkuat otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan," jelas Satria. Ia menegaskan bahwa hak pilih langsung rakyat merupakan pencapaian penting era reformasi yang tak boleh diremehkan. Usulan Prabowo ini pun dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
Tinggalkan komentar