Berita-rakyat sebelumnya memberitakan wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025. Langkah kontroversial ini memicu perdebatan sengit di kalangan pakar ekonomi, khususnya terkait dampaknya terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga
Pieter C Zulkifli, pengamat hukum dan ekonomi, menilai kenaikan PPN sebagai strategi jitu untuk mendongkrak pendapatan negara. Ia berargumen bahwa target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Prabowo membutuhkan APBN dua kali lipat dari anggaran saat ini. Namun, Pieter mengingatkan janji Prabowo untuk memberantas kemiskinan ekstrem. Menurutnya, keberanian, inovasi, dan kebijakan pro-rakyat sangat krusial. Kenaikan PPN, yang berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, akan menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Prabowo, terutama dalam menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.
Pandangan berbeda disampaikan Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). Ia menekankan pentingnya penyaluran tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN untuk kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah, menurut Fajry, harus memastikan manfaat yang diterima masyarakat lebih besar daripada beban yang ditanggung akibat kenaikan PPN. Dengan kata lain, pemerintah harus mampu membuktikan bahwa kenaikan PPN ini bukan hanya demi pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Tantangan besar bagi Prabowo untuk menyeimbangkan dua hal tersebut.
Tinggalkan komentar